Tidak jarang serial dengan penggambaran visual berbentuk animasi mendapatkan pandangan sebelah mata dari berbagai lapisan masyarakat, salah satunya adalah stigma dalam masyarakat bahwa “animasi adalah tontonan anak kecil, kalau sudah dewasa untuk apa menonton animasi?” Rupanya salah satu raksasa dalam perusahaan hiburan televisi, Netflix mencoba mendobrak stigma tersebut dengan serial animasi terbaru mereka yang berjudul “Love, Death & Robots”
Love,Death & Robots merupakan cara Netflix dalam melepas “kekang” dalam produksi serial animasi. Proyek rentetan animasi pendek berdurasi antara 7-17 menit ini dipimpin oleh 4 individu, Joshua Donen, David Fincher, Jennifer MIller, dan Tim Miller. Tiap Episode menawarkan sesuatu yang fresh dari berbagai bidang karena digarap oleh tim berbeda di tiap episodenya.
The Story
Love, Death & Robots (akan disingkat menjadi LDR) merupakan serial dengan episode berjumlah 18, dalam tiap episodenya mereka selalu memberikan salah satu dari 3 tema besar yang sesuai dengan judul yaitu cinta, kematian, atau robot bahkan tidak jarang mengkombinasikan ketiganya. Karena mengadopsi cerita yang berbeda-beda dari tim yang berbeda baik dari script atau cerita original, cerita dalam LDR kurang konsisten. Dalam episode tertentu memiliki alur cerita yang tidak terduga, penuh plot twist, dan twisted namun episode lainnya terasa hambar dan mudah ditebak. Meski begitu tiap cerita tidak pernah gagal memberikan sensasi ketegangan dan canda tawa yang menghibur.
Terlepas dari konsistensinya, cerita yang diangkat oleh penulis cerita bisa dibilang amat kreatif dan jarang ditemui di jaman sekarang seperti dunia alternatif dimana Hitler mati tertabrak kereta kuda, jaman es dalam kulkas rumah, atau pelukis tenar yang identitas sebenarnya adalah sebuah robot pembersih kolam renang.
The Visuals
Banyaknya produser animasi yang ikut ambil bagian dalam pembuatan LDR menjadi daya tarik tersendiri bagi serial ini, penonton akan terus dimanjakan dengan art style yang berbeda di tiap episode. Kebebasan yang diberikan oleh Netflix dalam mengerjakan animasi ini juga membuat produser bebas mengekspresikan latar tiap episode baik itu 2D atau 3D.
Sayangnya kombinasi kebebasan membuat cerita dan visual ini akan sedikit disturbing bagi penonton, tagline serial ini “A Netflix NSFW Animated Anthology” mencerminkan dengan baik apa yang akan disajikan pada penonton, nudity, gore, dsb. semuanya akan kalian dapatkan dalam serial ini.
The Auditory
Harus diakui, sebagai serial animasi, LDR menawarkan sound design yang menakjubkan tidak peduli saat animasi berbentuk 2D maupun 3D, tiap produser mengerti betul suara-suara yang mengelilingi tokoh utama dan membuatnya terasa lebih nyata sesuai dengan latar cerita meskipun ada beberapa momen dimana SFX yang digunakan terlalu di dramatisir. Dubbing tiap karakter dalam LDR juga perlu diperhatikan, mereka tidak asal-asalan memilih pengisi suara, penonton dapat mengidentifikasi daerah asal seorang tokoh hanya dengan mendengarkan nada dan gaya bicaranya.
Itu tadi ulasan singkat mengenai LDR. Karena ini serial animasi yang eksklusif tayang di Netflix, maka kalian hanya bisa menontonnya melalui Netlifx. Tertarik untuk menontonnya?
Editor: Panji Pangestu